✨ Minal Aidin Walfaidzin, Mohon Maaf Lahir & Bathin

Media Network
Netizen

Hinaan terhadap ASN PPPK, Cerminan Mentalitas Feodal di Birokrasi?

Viralnya video seorang PNS wanita yang merendahkan ASN PPPK kembali membuka luka lama di dunia birokrasi Indonesia. Di era yang menuntut profesionalisme dan kesetaraan, masih ada oknum yang merasa dirinya lebih tinggi hanya karena perbedaan status kepegawaian. Sikap ini bukan hanya mencerminkan ketidakdewasaan, tetapi juga menunjukkan betapa masih kuatnya mentalitas feodal dalam birokrasi kita.

ASN PPPK bukanlah pegawai kelas dua. Mereka melewati seleksi ketat, memiliki kompetensi yang diakui negara, dan berkontribusi besar bagi pelayanan publik. Jika ada yang menganggap mereka lebih rendah hanya karena perbedaan sistem kepegawaian, maka pertanyaannya: apakah ukuran kompetensi seseorang hanya ditentukan oleh status kepegawaian, atau dari dedikasi dan kinerjanya?

Lebih ironis lagi, penghinaan ini datang dari seorang aparatur negara, yang seharusnya menjadi contoh dalam menjunjung tinggi etika dan profesionalisme. Bukankah tugas utama seorang PNS adalah melayani masyarakat, bukan malah menciptakan kasta baru di dalam sistem birokrasi? Jika mentalitas seperti ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin diskriminasi antarpegawai justru menjadi penghambat kemajuan dalam pelayanan publik.

Publik pun layak bertanya, bagaimana seorang oknum PNS dengan pola pikir seperti ini bisa lolos seleksi menjadi abdi negara? Apakah kompetensi yang dimiliki benar-benar mumpuni, atau hanya kebetulan beruntung dalam jalur seleksi? Komentar pedas dari netizen yang menyindir bahwa “mungkin lulus CPNS dari hasil giveaway” menjadi tamparan keras yang menunjukkan betapa hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap integritas sebagian aparatur negara.

Seharusnya, dalam sistem birokrasi yang sehat, tidak ada lagi perdebatan siapa yang lebih unggul antara ASN PNS dan ASN PPPK. Keduanya adalah bagian dari sistem yang sama, memiliki tanggung jawab yang sama, dan bekerja untuk tujuan yang sama: melayani masyarakat dengan profesionalisme dan integritas. Jika masih ada yang merasa lebih tinggi hanya karena perbedaan status administratif, maka mungkin perlu dipertanyakan lagi apakah mereka benar-benar memahami esensi dari menjadi abdi negara?

Publik kini menunggu respons dari pihak terkait. Jika tidak ada klarifikasi atau tindakan tegas terhadap penghinaan ini, bukan tidak mungkin kejadian serupa akan terus terulang. Sudah saatnya birokrasi kita bersih dari mentalitas feodal dan mulai mengedepankan nilai kesetaraan, profesionalisme, dan penghormatan terhadap setiap perjuangan.

Content Curator

Dari Lensa Jurnalisme, Menjadi Suara Publik

Berita terkait

2 Comments

  1. Menurut saya itu hanya perasaan mereka saja. Keluarga saya juga banyak yang jadi ASN PPPK tapi mereka justru sangat dihargai dan dihormati tidak ada bedanya dengan pegawai lain disekolah maupun dimasyarakat. Saya dengar juga katanya gaji mereka juga lebih tinggi dibandingkan PNS. Jadi mau PPPK atau PNS kalo pengin dihargai dan dihormati kembali ke prilakunya atau sikapnya. PNS pun kalo sikapnya buruk pasti akan rendah dimata publik. Intinya banyak bersyukur aja kalo pemerintah sudah memberikan yg terbaik buat honorer menjadi PPPK dari pada honor terus. Terimakasih

    1. Terima kasih atas pendapatnya. Memang benar bahwa penghormatan di lingkungan kerja sangat dipengaruhi oleh sikap dan perilaku individu. Namun, tulisan ini tidak berangkat dari perasaan semata, melainkan dari realitas yang dirasakan sebagian ASN PPPK di berbagai daerah.

      Meskipun ada yang mendapatkan penghargaan setara dengan PNS, tidak sedikit pula yang menghadapi perlakuan berbeda, baik secara administratif maupun sosial. Contoh nyata bisa dilihat dari akses terhadap jenjang karier, tunjangan tertentu, hingga stigma yang masih berkembang di birokrasi.

      Terkait gaji, benar bahwa dalam beberapa kasus gaji PPPK bisa lebih tinggi, tetapi perlu dicatat bahwa mereka tidak mendapatkan hak yang sama dalam aspek lain, seperti kepastian jenjang karier dan jaminan pensiun.

      Jadi, poin utama dalam opini ini adalah mengkritisi apakah masih ada mentalitas feodal dalam birokrasi yang membedakan pegawai berdasarkan statusnya, bukan hanya sekadar soal sikap individu. Jika sistem sudah berjalan adil dan setara, maka seharusnya tidak ada lagi polemik seperti ini. Terima kasih kembali atas komentarnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button